Jembatan Maaf
Ada sebuah kisah tentang jambatan maaf yang mengharukan. Entah siapa penulisnya, tidak diketahui. Tetapi kisah ini bisa menjadi contoh untuk menyelesaikan persoalan. Bukan hanya persalan keluarga, namun juga persoalan negara, dan dunia.
***
Alkisah di sebuah desa kecil, hiduplah dua orang kakak beradik. Entah mengapa, suatu kali keduanya terlibat dalam suatu pertengkaran serius. Baru pertama kali ini mereka bertengkar sampai sedemikian hebat.
Sebelumnya, selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan. Mereka saling meminjamkan peralatan pertanian dan bahu-membahu untuk berdagang, tanpa mengalami hambatan. Namun, kerja sama yang akrab kini telah retak.
Hal ini disebabkan oleh kesalahpahaman yang sepele, yang kemudian berkembang menjadi perbedaan pendapat yang besar. Akhirnya, meledak dalam bentuk caci maki.
Beberapa minggu sudah berlalu, dan mereka saling tidak bertegur sapa. Suatu pagi, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria dengan membawa sebuah kotak perkakas tukang kayu dan berkata, "Maaf Tuan, sebenarnya aku sedang mencari pekerjaan, mungkin Tuan berkenan memberi beberapa pekerjaan untuk kuselesaikan."
"Oh iya!" jawab sang kakak, "Aku punya pekerjaan untukmu. Coba lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku, ah sebetulnya ia adalah adikku. Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan buldoser, lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu. Padang rumput tersebut menjadi aliran sungai yang memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku, tetapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku, sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya aku ingin melupakannya."
Kata tukang kayu itu, "Aku mengerti. Tetapi belikan aku paku dan peralatan, dan aku akan mengerjakan sesuatu yang bisa membuat Tuan senang."
Kemudian, sang Kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai kebutuhan untuk si tukang kayu tersebut. Setelah selesai berbelanja, sang kakak meninggalkan tukang kayu itu bekerja sendirian.
Sepanjang hari tukang kayu itu bekerja keras, mengukur, menggergaji, dan memaku. Di sore hari, ketika sang kakak kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
Ia terbelalak melihat hasil pekerjaan tukang kayu itu. Ternyata, sama sekali tidak ada pagar kayu sebagaimana yang dimintanya. Yang ada hanyalah sebuah jembatan yang melintasi sungai, yang menghubungkan tanahnya dengan ladang pertanian adiknya. Jembatan itu begitu indah dengan undak-undakan yang tertata rapi.
Dari seberang sana, terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar, dan berkata, "Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Maafkanlah sikap dan ucapanku yang telah menyakiti hatimu."
Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan, lalu saling berjabat tangan dan berpelukan.
Melihat itu, si tukang kayu membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi.
"Hai jangan pergi dulu. Tinggalah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu," pinta sang kakak.
"Sesungguhnya, aku ingin sekali tinggal di sini", kata si tukang kayu, "tetapi masih banyak jembatan lain yang harus kuselesaikan."
Note:
Perlu dibangun "jembatan" agar pihak-pihak yang bertikai bisa saling memaafkan. Namun tentu saja butuh niat baik dari pihak-pihak yang bertikai, dan juga berpikir positif. Kalau si adik dalam cerita ini tidak berpikir positif, mereka akan tetap bermusuhan. Seandainya si adik berpikir, "Wah, si kakak membangun jembatan untuk menguasai tanahku." Pasti hasilnya berbeda. Semoga semakin banyak jembatan yang dibangun, semakin banyak orang yang melintasi jembatan itu untuk menyelesaikan masalah dan menghargai perbedaan.
***
Alkisah di sebuah desa kecil, hiduplah dua orang kakak beradik. Entah mengapa, suatu kali keduanya terlibat dalam suatu pertengkaran serius. Baru pertama kali ini mereka bertengkar sampai sedemikian hebat.
Sebelumnya, selama 40 tahun mereka hidup rukun berdampingan. Mereka saling meminjamkan peralatan pertanian dan bahu-membahu untuk berdagang, tanpa mengalami hambatan. Namun, kerja sama yang akrab kini telah retak.
Hal ini disebabkan oleh kesalahpahaman yang sepele, yang kemudian berkembang menjadi perbedaan pendapat yang besar. Akhirnya, meledak dalam bentuk caci maki.
Beberapa minggu sudah berlalu, dan mereka saling tidak bertegur sapa. Suatu pagi, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumah sang kakak. Di depan pintu berdiri seorang pria dengan membawa sebuah kotak perkakas tukang kayu dan berkata, "Maaf Tuan, sebenarnya aku sedang mencari pekerjaan, mungkin Tuan berkenan memberi beberapa pekerjaan untuk kuselesaikan."
"Oh iya!" jawab sang kakak, "Aku punya pekerjaan untukmu. Coba lihat ladang pertanian di seberang sungai sana. Itu adalah rumah tetanggaku, ah sebetulnya ia adalah adikku. Minggu lalu ia mengeruk bendungan dengan buldoser, lalu mengalirkan airnya ke tengah padang rumput itu. Padang rumput tersebut menjadi aliran sungai yang memisahkan tanah kami. Hmm, barangkali ia melakukan itu untuk mengejekku, tetapi aku akan membalasnya lebih setimpal. Di situ ada gundukan kayu. Aku ingin kau membuat pagar setinggi 10 meter untukku, sehingga aku tidak perlu lagi melihat rumahnya. Pokoknya aku ingin melupakannya."
Kata tukang kayu itu, "Aku mengerti. Tetapi belikan aku paku dan peralatan, dan aku akan mengerjakan sesuatu yang bisa membuat Tuan senang."
Kemudian, sang Kakak pergi ke kota untuk berbelanja berbagai kebutuhan untuk si tukang kayu tersebut. Setelah selesai berbelanja, sang kakak meninggalkan tukang kayu itu bekerja sendirian.
Sepanjang hari tukang kayu itu bekerja keras, mengukur, menggergaji, dan memaku. Di sore hari, ketika sang kakak kembali, tukang kayu itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya.

Dari seberang sana, terlihat sang adik bergegas berjalan menaiki jembatan itu dengan kedua tangannya terbuka lebar, dan berkata, "Kakakku, kau sungguh baik hati mau membuatkan jembatan ini. Maafkanlah sikap dan ucapanku yang telah menyakiti hatimu."
Dua bersaudara itu pun bertemu di tengah-tengah jembatan, lalu saling berjabat tangan dan berpelukan.
Melihat itu, si tukang kayu membenahi perkakasnya dan bersiap-siap untuk pergi.
"Hai jangan pergi dulu. Tinggalah beberapa hari lagi. Kami mempunyai banyak pekerjaan untukmu," pinta sang kakak.
"Sesungguhnya, aku ingin sekali tinggal di sini", kata si tukang kayu, "tetapi masih banyak jembatan lain yang harus kuselesaikan."
Note:
Perlu dibangun "jembatan" agar pihak-pihak yang bertikai bisa saling memaafkan. Namun tentu saja butuh niat baik dari pihak-pihak yang bertikai, dan juga berpikir positif. Kalau si adik dalam cerita ini tidak berpikir positif, mereka akan tetap bermusuhan. Seandainya si adik berpikir, "Wah, si kakak membangun jembatan untuk menguasai tanahku." Pasti hasilnya berbeda. Semoga semakin banyak jembatan yang dibangun, semakin banyak orang yang melintasi jembatan itu untuk menyelesaikan masalah dan menghargai perbedaan.
Jembatan Maaf
Reviewed by Pondokbaca.com
on
07:46
Rating:

Tidak ada komentar: