Bukan Tentang Kematian
Berkat ibu, aku dan dia dapat saling mengenal dan menjalin sebuah hubungan diam-diam yang manis juga menggairahkan. Bahkan beberapa kali kami pun telah bercinta. Padahal, sebelumnya dia hanyalah sosok lelaki idaman yang dapat aku amati di dalam bus kampus. Selama tiga bulan, aku selalu menikmati setiap kecup dan belainya. Namun, saat ini semua terasa meresahkan. Kecupannya begitu mengiris hati dan belai bagai isyarat salam perpisahan.
Kami duduk di sebuah bangku taman di depan vila miliknya. Kabut yang menyelimuti pegunungan, pepohonan dan burung-burung bagai lukisan indah pada langit yang memanjakan mata. Aku dan dia tak mengenakan pakaian apapun. Hanya sebuah seprai dan dua buah handuk putih yang menutupi bagian tubuh. Semalam kami telah bercinta.
Dia merangkul pundakku, sementara lenganku memeluk erat tubuhnya. Hawa dingin di pagi hari membuat kami enggan untuk melepas satu sama lain. Sayang, tak ada seorang pun yang melihat. Walau dalam keresahan, aku ingin orang tahu kemesraan kami. Aku dan dia terdiam, hanyut dalam suasana. Suara kicauan burung pun membuat hati yang dingin menjadi hangat.
Aku mengamati wajahnya yang bimbang. Dia begitu sering mengerutkan dahi dan memejamkan mata. Mulutnya mengucap beberapa kata, tetapi tak mengeluarkan suara. Beberapa kali dia pun mengusap dadanya yang bidang, menandakan adanya sebuah keresahannya. Tentu saja, kami pasti merasakan hal yang sama.
Dia tersenyum saat menyadari sedang diamati. Rangkulannya yang erat, membuat tubuh kami semakin berdekatan. Jari-jari tangannya mulai membelai. Saat saling memandang, ia mengecup bibirku. Kami pun mulai bercinta kembali, meski hanya dengan seprai yang menutupi. Sayang, rasanya tak seperti semalam. Keresahan ini benar-benar mengganggu.
Kini pagi berganti siang, tetapi semua masih sama. Aku kembali berada dalam rangkulannya dan dia terus memejamkan mata. Hingga akhirnya, sebuah pesan singkat masuk pada telepon genggam yang diletakan di bawah bangku ini. Dengan sigap, dia melepaskan rangkulan dan meraihnya. Tertulis pesan dari istriku.
Mas, kamu di mana?
Kami sudah sampai di bandara.
Anak-anak minta jemput, kangen katanya
sudah tiga bulan gak ketemu.
Kami tunggu ya, Mas. Love You.
Seketika tubuhku menegang. Keresahan berganti dengan ketakutan. Aku tidak ingin berpisah dengan dia. Tidak. Lebih tepatnya aku tidak sanggup kehilangan. Air mata hampir tak terbendung. Rasanya ingin sekali berteriak. Namun, aku merasa tak pantas. Pesan itu, ah, mengapa aku harus membacanya. Lalu, apa? Anak-anak? Apakah jika aku memliki seorang anak semua ini tidak akan terjadi? Apakah dia tidak akan meninggalkanku? Ah aku tidak tahu! Sementara aku sibuk dengan pertanyaan yang tak dapat aku sampaikan, dengan sebuah handuk, dia bergegas masuk ke dalam vila.
Air mata akhirnya jatuh mengalir di kedua pipiku. Burung-burung seketika bersuara seiring dengan tangis. Beberapa menit kemudian, terdengar langkah kakinya yang telah menggunakan pantofel mendekat lalu memelukku. Dalam peluknya, dia mencoba menenangkanku dan berhasil.
Saat dia mengelus rambutku yang berantakan, aku tak sanggup untuk melihat wajahnya. Suara telepon kini terdengar dari ponselnya. Aku tahu dia pun kini bimbang. Namun, aku juga tahu pilihannya. Hingga akhirnya, untuk terakhir kali, dia mencium keningku lalu berjalan, pergi meninggalkanku.
Langkahnya yang lemah, kini terlihat semakin jauh. Air mata pun kembali mengalir, mengingat kenangan dahulu. Aku meremas seprai yang menutupi tubuh. Akhirmya ketakukan terbesarku terjadi hari ini. Sebuah perpisahan yang bukan tentang kematian, tetapi karena kesalahan.
__
Penulis: Fitri Nur Fadilah
Source: fadilahfitri.blogspot.com
Kami duduk di sebuah bangku taman di depan vila miliknya. Kabut yang menyelimuti pegunungan, pepohonan dan burung-burung bagai lukisan indah pada langit yang memanjakan mata. Aku dan dia tak mengenakan pakaian apapun. Hanya sebuah seprai dan dua buah handuk putih yang menutupi bagian tubuh. Semalam kami telah bercinta.
Dia merangkul pundakku, sementara lenganku memeluk erat tubuhnya. Hawa dingin di pagi hari membuat kami enggan untuk melepas satu sama lain. Sayang, tak ada seorang pun yang melihat. Walau dalam keresahan, aku ingin orang tahu kemesraan kami. Aku dan dia terdiam, hanyut dalam suasana. Suara kicauan burung pun membuat hati yang dingin menjadi hangat.
Aku mengamati wajahnya yang bimbang. Dia begitu sering mengerutkan dahi dan memejamkan mata. Mulutnya mengucap beberapa kata, tetapi tak mengeluarkan suara. Beberapa kali dia pun mengusap dadanya yang bidang, menandakan adanya sebuah keresahannya. Tentu saja, kami pasti merasakan hal yang sama.
Dia tersenyum saat menyadari sedang diamati. Rangkulannya yang erat, membuat tubuh kami semakin berdekatan. Jari-jari tangannya mulai membelai. Saat saling memandang, ia mengecup bibirku. Kami pun mulai bercinta kembali, meski hanya dengan seprai yang menutupi. Sayang, rasanya tak seperti semalam. Keresahan ini benar-benar mengganggu.
Kini pagi berganti siang, tetapi semua masih sama. Aku kembali berada dalam rangkulannya dan dia terus memejamkan mata. Hingga akhirnya, sebuah pesan singkat masuk pada telepon genggam yang diletakan di bawah bangku ini. Dengan sigap, dia melepaskan rangkulan dan meraihnya. Tertulis pesan dari istriku.
Mas, kamu di mana?
Kami sudah sampai di bandara.
Anak-anak minta jemput, kangen katanya
sudah tiga bulan gak ketemu.
Kami tunggu ya, Mas. Love You.

Air mata akhirnya jatuh mengalir di kedua pipiku. Burung-burung seketika bersuara seiring dengan tangis. Beberapa menit kemudian, terdengar langkah kakinya yang telah menggunakan pantofel mendekat lalu memelukku. Dalam peluknya, dia mencoba menenangkanku dan berhasil.
Saat dia mengelus rambutku yang berantakan, aku tak sanggup untuk melihat wajahnya. Suara telepon kini terdengar dari ponselnya. Aku tahu dia pun kini bimbang. Namun, aku juga tahu pilihannya. Hingga akhirnya, untuk terakhir kali, dia mencium keningku lalu berjalan, pergi meninggalkanku.
Langkahnya yang lemah, kini terlihat semakin jauh. Air mata pun kembali mengalir, mengingat kenangan dahulu. Aku meremas seprai yang menutupi tubuh. Akhirmya ketakukan terbesarku terjadi hari ini. Sebuah perpisahan yang bukan tentang kematian, tetapi karena kesalahan.
__
Penulis: Fitri Nur Fadilah
Source: fadilahfitri.blogspot.com
Bukan Tentang Kematian
Reviewed by Pondokbaca.com
on
14:29
Rating:

Tidak ada komentar: