Perihal Berjalan

Angin kemalangan menggulung debu-debu ke angkasa pada hari ke-826 sejak hujan terakhir mengguyur Hutan Sendi. Helai-helai daun kering terbawa terbang untuk jatuh entah ke mana. Matahari bersinar terik. Seekor kadal menggelepar dalam sekaratnya yang panjang dan menyakitkan. Seekor kutilang teronggok di atas tanah yang kering dan pecah. Alih-alih membusuk, jasadnya susut kering. Pada waktu itulah, di antara pepohonan kayu yang meranggas, sebatang semak pahitan menjulurkan akar-akarnya yang lemah. Ia tampak kepayahan. Sesuatu yang normal belaka di tengah situasi semacam itu. Daun-daunnya kehilangan hijau. Tiga tangkainya bahkan sempurna tak berdaun.

“Hujan masih turun di sana,” katanya lima menit sebelumnya, kepada sebatang perdu krokot yang menjalar payah di sebelahnya.

“Bagaimana kau tahu?”

“Aku tak tahu.”

“Tapi kau bilang begitu?”

“Aku hanya yakin.”

Perdu krokot itu tertawa. Lemah dan dipaksakan dan si pahitan tahu dirinya tengah diejek. “Aku akan ke sana,” lanjut si pahitan.

“Konyol.”

“Bagaimana bisa kau bilang konyol?”

“Sejak kapan ada sebatang semak yang berjalan?”

“Sejak semak itu menginginkannya.”

“Bahkan burung yang bisa terbang saja mati. Bahkan trembesi yang perkasa layu. Bahkan—”

“Ya, dan apa masalahnya?”

“Kau juga akan mati.”

“Aku akan hidup. Dan kau yang mati kalau kau tetap di sini.”

***

Kampung itu bernama Sumberan. Dan ia berjarak tak kurang sembilan kilometer dari Hutan Sendi. Siang itu, seorang anak tengah mengambil air dari sebatang kali di tepi kampung. Kali itu berhulu di kaki Gunung Welirang yang seolah memiliki mata air abadi.

Si anak, sembilan tahun umurnya, tak lekas pulang setelah timbanya terisi air. Ia sesungguhnya tak begitu membutuhkan air itu. Ia hanya tak memiliki kesibukan apa-apa setelah pulang sekolah. Biasanya ia bermain gundu bersama teman-temannya. Namun hari itu ia sedang malas bermain. Tak ada alasan khusus. Hanya malas saja. Namun berdiam di rumah di hari yang cerah bukanlah keputusan yang baik. Hanya sejam ia bertahan. Lalu ia diserang kebosanan yang hebat. Ia hilir mudik dari ruang depan ke belakang, dari kamar ke dapur, menonton televisi, memindah-mindah saluran, lalu mematikannya dan kembali hilir mudik. Itulah saat ia melihat sebuah timba teronggok di sudut kamar mandi. Ia memutar keran dan air PDAM mengalir dengan baik. Ia mengambil gayung dan menciduk air dalam bak mandi dan memindahkannya ke dalam timba. Setelah timba penuh, ia menuangkannya kembali ke bak mandi. Begitu berulang-ulang sampai ia kembali disergap kebosanan. Kemudian ia memperoleh ide konyol untuk pergi ke Kali Baya.

Si anak melempar-lemparkan kerikil ke dalam kali dan ia senang melihat riak air yang membentuk lingkaran-lingkaran yang semakin lama semakin meluas sebelum musnah membentur batu-batu di pinggiran kali. Tiga ekor anggang-anggang yang mengambang di tepian yang lebih tenang juga membikin lingkaran air yang lebih kecil. Ia tertawa ringan. Ia melihat seekor ikan dengel bersembunyi di balik batu. Ia membalik batu itu dan si dengel segera berenang menjauh. Bersembunyi di batu lain yang berada lebih di tengah kali. Setetes keringat muncul di keningnya. Ia mengangkat kepala dan menyeka keringat itu. Dan begitulah ia menyaksikan dari kejauhan sebatang semak pahitan berjalan tertatih.

Ia gembira melihat pemandangan yang baru pertama ia lihat sepanjang hidupnya itu. Ia bersorak seperti pendukung tim sepak bola bersorak mendukung tim kesayangannya, seperti yang pernah ia saksikan lewat televisi. Semak pahitan itu berjalan ke arahnya, semakin lama semakin cepat. Semak itu seolah mengerti bahwa si anak bersorak untuknya. Seperti pemain sepak bola yang tak pernah ia ketahui, semangatnya timbul semakin kuat, semakin kuat dan semakin kuat.

Si anak masih bersorak sewaktu si semak sampai di pinggir kali. Dan si anak melonjak-lonjak saat si semak menjulurkan akar-akarnya ke dalam kali. Sesaat kemudian, setelah si anak melihat si semak sudah puas menyedot air, si anak berkata, “Kau sepertinya kehausan.”

“Aku memang sangat kehausan.”

Si anak tertawa mendengar si semak pahitan menjawab ucapannya dengan bahasa manusia, bahasa Indonesia yang baik, yang ia bisa mengerti.

“Dari mana asalmu?”

“Hutan Sendi.”

“Itu jauh.”

“Lumayan. Sudah berhari-hari aku berjalan. Yah, kau tahulah, aku hanyalah sebatang semak pahitan. Langkah kakiku kecil-kecil. Lagi pula, aku sudah kepayahan. Sudah lama sekali tak ada hujan di Hutan Sendi. Sumber air mengering dan tanah tak lagi menyimpan sedikit pun air.”

“Menakjubkan.”

“Itu mengerikan.”

“Bagaimana kau bisa sampai ke sini?”

“Aku berjalan. Bagaimana lagi? Bukankah kau tadi sudah melihatnya?”

“Bagaimana cara kau berjalan?”

“Melangkahkan akar. Bagaimana lagi? Seandainya aku memiliki kaki, aku akan berjalan menggunakan kaki.”

“Begitu saja?”

“Ya, begitu saja. Sesederhana itu.”

***

Semak pahitan itu akan hidup bahagia kini, batin si anak. Ia berjalan pulang dengan pikiran itu. Si semak memutuskan tinggal di pinggiran Kali Baya dan mengatakan bahwa mungkin saja ia akan pergi bila keadaan di situ sudah tidak memungkinkannya untuk hidup.

Malam harinya, si anak berkata kepada orang tuanya, “Aku ingin terbang ke balik awan.” Bapaknya tertawa. Ibunya tertawa.

“Kau kan bukan burung. Kau tidak memiliki sayap. Lalu bagaimana kau akan terbang?” jawab ibunya sembari mengangkat piring kotor ke dapur.

“Dengan mengepakkan tangan. Bagaimana lagi?” jawabnya ringan. Bapak dan ibunya kembali tertawa. Dan ia tak mengerti apa yang lucu.

______

Penulis: Dadang Ari Murtono
Sumber: basabasi.co
Perihal Berjalan Perihal Berjalan Reviewed by Pondokbaca.com on 15:59 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.